Nge-Trip ke Rupat bersama #TERCYDUCKSQUAD Bagian 2

by - Agustus 19, 2017

(Jari Tangan Imut Amit aku, Astri dan Nuri)


Kami putar balik, tentu saja. Melewati jembatan yang hanya muat untuk satu mobil, mobil mulai melaju menuju tempat yang di tuju. Tak lepas tertawa hingga beberapa waktu berlalu, perhatian kami segera teralihkan dengan rumah penduduk yang dilewati.

Rumah-rumah di sini masih berbentuk sederhana layaknya rumah perkampungan yang memang tidak banyak gaya. Sangat minimalis dengan harga yang minimalis pula. Tak seperti di kota, rumah minimalis harga maksimalis. Hanya ada beberapa rumah semi permanen, selebihnya rumah panggung kayu khas melayu  zaman dahulu.

Wajar rasanya bila masih banyak penduduk yang mempertahankan bentuk rumahnya panggung seperti itu, air laut yang pasang bisa saja membuat hewan melata memasuki pemukiman warga. Untuk mengantisipasi, rumah panggung tentu adalah solusi terbaik. Selain itu juga mencegah air pasang memasuki rumah. Bagaimana aku  tahu? Sebab rumahku pun dibuat seperti itu dengan alasan seperti itu pula.

Masyarakat pulau, tentu akrab dengan pohon kelapa. Tekstur tanah yang cocok, menjadikan kelapa sebagai salah satu mata pencaharian mereka. Kami melewati sebuah mini truk yang sedang berhenti di depan rumah salah satu warga, membawa kelapa-kelapa tua yang siap dijual pada tukang santan di pulau seberang. Ibu kota.

Pulau Rupat tak bisa dibilang pulau baru berpenghuni. Meskipun aku tak banyak tahu tentang pulau ini, selama perjalanan menuju lokasi tujuan kami, aku dapat mengetahui bahwa Pulau Rupat merupakan salah satu tujuan transmigrasi oleh pemerintah. Hal ini dibuktikan dari rumah-rumah jatah  beserta lahan yang belumlah lama dibuka.

Pohon karet di tepian jalan tingginya tak sampai sepuluh meter. Pun pohon sawitnya yang kebanyakan baru bisa dipanen. Tolong maafkan kebodohanku yang tak bisa menjelaskan tanaman secara rinci. Intinya, sekali lihat saja kita akan langsung tahu bahwa belumlah lama pemerintah menggencarkan usaha transmigrasi ke pulau ini dengan memberikan lahan pada warga.

Pulau Rupat memiliki tanah yang subur, tanaman tropis di sini tumbuh dengan baik. Dengan luas yang lebih besar dari Pulau Bengkalis –ibu kota daerah-, tak menutup kemungkinan Pulau Rupat di masa mendatang akan lebih maju dan terkenal dari daerah wisata di sekitarnya. Soalnya, Pulau Rupat memiliki begitu banyak pesona alam yang belum terekspose masyarakat luas.

“Pantai di sini lebih banyak dan lebih bagus dari pantai di Bengkalis,” kata Dian pada kami saat ia menjelaskan kenapa ia tak pernah bosan mengunjungi pulau ini.

Kami percaya, tentu saja. Sebuah pulau yang berbatasan dekat dengan negara tetangga ini memang tak akan mengecewakan hati. Apalagi kami nge-trip ke sini juga karena Pulau Beting Aceh. Sebuah pulau tak berpunghuni yang akan kuceritakan nanti.

Dari pelabuhan menuju kecamatan Tanjung Medang, Rupat Utara, membutuhkan waktu 3-4 jam perjalanan. Tergantung kendaraan dan bagus tidaknya jalan menuju ke sana.

Rauf, sopir kami selama perjalanan ini yang sangat baik hati membawa kecepatan mobil sedang. Tak terburu-buru. Seakan pengertian, ia tahu kondisi beberapa jalan yang tak memungkinkan untuk membawa mobil ngebut.

Kondisi jalan yang kami lewati, menurut Dian sudah lebih baik dari terkahir kali ia ke sini. Sudah ada jalan baru beraspal dan masih ada beberapa jalan yang masih tanah tak tersentuh batuan krikil-pertanda sebuah jalan akan di aspal-. Bagiku pun jalan ini lumayan bagus. Terhitung aku dan Bima belum ada mabuk darat. Sejak dari pelabuhan kami sangat bersemangat hingga melupakan rasa gejolak tak nyaman di perut.

Atau mungkin karena Bima pindah duduk di kursi sebelah kemudi, di samping Rauf. Sehingga ia, bila perutnya terasa mual, ia segera menurunkan kaca jendela dan menghirup angin luar banyak-banyak. Atau tertidur, membiarkan angin menerpa wajahnya, meninabobokkan matanya. Karena keadaan aman terkendali itulah, perjalanan kami benar-benar menjadi santai. Tak khawatir dengan bentuk jalanan yang akan kami hadapi.

 Berhenti di sebuah musala untuk salat Ashar, kami terkagum-kagum dengan seekor kucing yang sedang tidur nyenyak di atas alas kaki beranda musala. Padahal kami sudah sangat berisik di dekatnya. Mengganggunya berulang kali, seperti mengelus bulunya yang lembut, manggeser-geser letak kaki yang tidak sinkron dengan posisi badannya, mentoel-toel dagunya karena tidur sambil menunjukkan giginya yang bertaring kecil.


(Kucing Tidur yang Bikin Iri)


Matanya tetap tak mau terbuka!

Karena semua orang sudah selesai salat dan kami harus melanjutkan perjalanan, kamipun mengucapkan selamat tinggal pada kucing yang terlelap itu. Ah... betapa menyenangkannya menjadi seekor kucing yang tak peduli apapun ketika ia terlelap di rumah Allah. Tak takut disakiti ataupun dikecewakan.
Dan kenapa pula bahasanku sampai ke perasaan iri pada seekor kucing?!

Tak berselang lama, kami kembali berhenti karena Haris kebelet buang air kecil. Berhenti di sebuah musala lagi, kami hanya diam di mobil menunggui Haris.

(Haris Berjalan Menuju Toilet Musala)



Langit sudah melihatkan kilau senjanya. Sepertinya, niat mengejar sunset sambil duduk di tepi pantai tak dapat terwujud sore ini. Masih ada dua jam lagi untuk sampai ke Tanjung Medang.
 
Selama perjalanan, kendatipun sering disellingi dengan tidur, kami membahas banyak hal. Saking banyaknya, aku tak dapat mengingat satupun bahasan kami yang melantur kemana-mana. Tetapi, karena kami adalah anak muda pengelana yang masih mencari jati diri sesungguhnya, bahasan kami tak jauh-jauh dari hal yang dianggap tabu diucapkan di daerah baru.

Silahkan berpikir sesuka hatimu mengenai hal tabu itu.

Dalam hati, aku sebenarnya cukup takut ikut andil dalam bahasan kami, sebab kami sedang di daerah orang. Kami pengunjung yang hanya belum pernah ke sini kecuali Dian. Tetapi, sekali lagi, karena darah muda dan merekapun terlihat santai saja, akupun jadi santai. Namun tetap menjaga prilaku sebaik mungkin. Meminta maaf dalam hati tiap kali mengucapkan kata tak pantas.

Dua puluh menit menjelang sampai di Tanjung Medang. Pukul 19.27 aku merasakan akibatnya. Mobil kami tertahan di tengah perkebunan sawit karena truk pengangkat batu pantai terpuruk di lubang jalan berlumpur di depan kami. Jalan yang sempit berlumpur tak bisa mobil kami lewati. Sebab, truk tersebut lumayan memakan luas jalan.

(Mobil Truk Yang Terpuruk Lubang Jalan Berlumpur)



Sebelumnya, ketika berbelok ke jalan yang menuju kecamatan Tanjung Medang, kami melewati jalan tanah yang di beberapa lubang jalan belum kering karena hujan. Setiap melewati jalan berlubang itu, doa tak berhenti kami panjat. Bima bahkan sampai bertakbir ketika Rauf berusaha mengemudikan mobil melewati jalan yang cukup dalam. Bukan apa-apa, mobil yang mengangkut kami bukanlah mobil petualang. Mobil Rauf adalah mobil keluarga yang tentu saja akan kandas bila lubang yang dilewati rodanya terlalu dalam.

Lagipula mobil belumlah buka segel! Tentu harus tahu diri bila sampai terjadi sesuatu dengan mobil yang kami tumpangi. Apalagi pemiliknya –Rauf- juga baru pertama kali membawa mobilnya melewati jalan seperti ini. Alamatlah kapal!!

Belum hilang kekhawatiran akan berapa lama kami di antara pohon sawit, Nuri bercerita bagaimana Abi-pacarnya- menceritakan padanya sebelum pergi betapa jeleknya jalan yang akan kami lalui. Sebenarnya, jalannya tak terlalu buruk. Lubang dalam itupun berada di tepi, jika diperhatikan yang salah adalah truknya, yang salah mengira dan mengambil jalan terlalu ke tepi.

Untungnya-orang Indonesia selalu merasa untung disetiap kejadian kan?-, seorang Koko yang mempunyai truk terpuruk tersebut ada disana. “Ke Tanjung Medang tinggal 20 menit lagi, saya ambil truk lain dulu untuk narik truk itu,” jelasnya kepada kami.

Kami tak mungkin berbalik arah, ketika dia menjelaskan di simpang empat sebelum berbelok ke jalan ini, kami bisa juga mencapai Tanjung Medang bila memilih jalan lurus. Hanya saja jalannya sepi, jarang ada penduduk lewat. Karena berharap pada truk lain yang akan menarik truk terpuruk itu, kami memilih untuk menunggu saja.

Sayangnya, harapan tak sesuai dengan kenyataannya. Truk lain yang lebih besar dari truk terpuruk itu tak mampu menarik roda yang terendam lumpur. Koko itu terpaksa menelpon anak buahnya untuk datang membantu memindahkan muatan. Setengah jam kemudian, tujuh sampai sepuluh orang laki-laki datang.

Aku sibuk berpikir. Bagaimana ini??? di malam hari, di tengah kebun sawit, dengan banyak penduduk lokal yang  badannya tegap menyeramkan berhasil membuatku berpikir macam-macam. Ketakutan menyergap. Haris dan Rauf keluar dari mobil, meminta kami para perempuan menutup kaca jendela dan mengunci pintu dari dalam.

Berdebar? IYAAA!!!

Aku bahkan menyesal lahir dengan imajinasi yang liar. Bayangan di kepalaku sudah lari kemana-mana. Hanya Allah yang tahu betapa mengerikannya bayangan masa depan yang aku pikirkan.

Karena beberapa menit selanjutnya yang baik-baik saja, dan jalan tersebut dilewati bapak-bapak bersepeda motor yang berpakain baju muslim, seperti pulang dari kenduri menyapa anak buah Koko tersebut, kami menghela napas lega. Keamanan tak seketat sebelumnya dan ketakutan perlahan memudar.

Badan kami mulai merasa kelelahan akibat terlalu lama duduk, badan berkeringat karena udara panas di dalam mobil. Ditambah lagi kami belum makan malam dan jam sudah menunjukkan pukul 21.00. Seluruh persiapan snack yang dibeli saat pagi tadi habis dimakan selama perjalanan. Hanya tinggal beberapa saja yang hanya cukup mengganjal rasa lapar selama beberapa menit.

(Bima dan Haris)
(Nuri, Bima dan Haris)

(Astri dan Dian)

Dengan meminjam sepeda motor salah satu anak buah Koko, Rauf dan Haris pergi ke warung makan yang tak terlalu jauh –inipun Koko yang ngasih tahu-. Sayangnya, di warung itu hanya ada miso yang tak memungkinkan dibeli dan dimakan di mobil. Mereka akhirnya membeli gorengan tahu dan bakwan yang langsung kami serbu.

Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Hampir tiga jam menunggu tak membuahkan hasil. Kami bahkan sempat tertidur di dalam mobil, salling berhimpitan yang untungnya AC mobil hidup, hingga panas agak teredam. Karena truk tak menunjukkan kemajuan, Koko menganjurkan mobil kami untuk mencoba lewat disisi kiri jalan yang sempit. Sebelumnya memang sudah ada dua mobil yang berhasil lewat di sisi kiri itu. Berhasil dan tak kandas karena mobil mereka bukan mobil keluarga seperti mobil yang kami gunakan. Ditambah mereka pasti sudah terbiasa mengendarai jalanan berlumpur, sedangkan kami hanyalah sekumpulan anak bawang.

Setelah berdiskusi antara Rauf, Haris dan Koko. Kami semua turun, membiarkan Koko naik ke kursi kemudi. Mencoba melewati sisi kiri yang memiliki lubang yang cukup dalam. Dalam sekali coba, kami semua memanjatkan doa. Mobil memang sempat oleng, tapi dengan tarikan gas dengan cepat mengambil alih arah dan mobil berhasil lewat.

KENAPA TIDAK DARI TADI!!!!!!

Setelah mengucapkan terima kasih, kami melanjutkan perjalanan yang katanya hanya 20 menit lagi. Selama dua puluh menit itu, kami bercerita bagaimana baiknya penduduk lokal setempat. Kami saling mengakui bahwa kami sempat berpikiran negatif akan mereka dan kami menyesal. Rauf bilang, kearifan lokak masyarakatlah yang paling ia suka bila sudah sampai di suatu daerah. Bila penduduknya ramah dan baik hati, maka pengunjung daerah tersebut pastilah akan beniat kembali lagi daerah tersebut.

Benar, tepat pada pukul 22.46 kami sampai di penginapan dimana Dian pernah menginap. Nama daerahnya Teluk Rhu, berada di Tanjung Medang, Rupat Utara.

Kami masuk ke dalam perkarangan penginapan yang memiliki dua bangunan bertingkat dua yang bercat oren terang. Ketika keluar dari mobil, aku langsung bisa mendengar suara ombak. Berjalan sedikit, kakiku sampai dibatuan pantai.

(Penginapan Tempat Kami Menginap selama di Teluk Rhu)

(Dian Yang Langsung Bermain Ayunan)
(Gazebo Yang Sangat Nyaman)

 Penginapan ini benar-benar menjadikan pantai sebagai halamannya!!

Aku langsung update sosial media, tentu saja. Rasa penat benar-benar hilang mendengar deburan ombak yang tak berhenti menghempaskan badannya ke pasir pantai. Karena malam dan gelap, aku tak berani turun ke pasir. Segera duduk di salah satu bangku tidur kayu khas tepian pantai, berbaring menyesuaikan badan pada bangku dan menikmati terpaan angin pantai ke badan. Segar!

(Kami Yang Langsung Update IG story)
(Mereka Sedang Berdiskusi)


Ah... rasanya benar-benar menyenangkan!!

Pertama kalinya aku mendengar suara ombak sekeras dan senyata ini. Seperti suara ombak di film-film. Dan benar-benar menyejukkan hati. Bukan bermaksud membandingkan atau apapun itu, Pantai Selat Baru Bengkalis yang pernah aku kunjungi bersama teman sekelas saat perpisahan SMK itu bukan apa-apa dibandingkan ini!.

Ku akui, aku memang kecewa ketika saat itu. Ekspetasi ku langsung hancur. Kenangan pertama kaliku melihat pantai langsung mengecewakan diri ini. Serius.

Namun, saat ini, meskipun gelap dan hanya mendengar ombaknya saja, perasaan bahagiaku sudah malambung tinggi. Membuncah tak sabar berjumpa dengan esok hari. Padahal aku belum melihat air lautnya seperti apa, ombaknya seperti apa. hanya mendengar.

Untungnya, aku segera ditarik pergi.

Setelah memesan kamar-yang diurus Astri, Rauf dan Haris-, kami pergi mencari makan malam. Menuju tempat makan 24 jam yang kami lewati tadi.

Aku lapar tentu saja, meskipun ketika di pantai tadi tak merasakan lapar, ketika sudah melihat makanan, perut ini berbunyi juga. Aku dengan cepat memesan mie goreng, Haris nasi goreng, sisanya nasi putih dengan lauk ikan, kecuali Astri yang tak memesan apapun kecuali teh hangat.

(Kami diWarung Makan Yang Buka 24 Jam)

(Warung Makanan Yang Free Wifi)

Hari sudah berganti ketika kami selesai makan.

Pukul 00.20 kami kembali ke penginapan. Segera membersihkan diri dan beristirahat. Bersiap menyambut hari esok.

Namun, sesudah mandi aku tak bisa tidur. Akhirnya, kami-Aku, Astri dan Haris- bermain kartu hingga jam 2 pagi, barulah kami pergi tidur.

Bagaimana aku bisa tidur??????? Mataku sama sekali tak mau terpejam!!!!





To Be Continue...

You May Also Like

0 komentar